Jumat, 12 Agustus 2016

MEDIASI/PERDAMAIAN

MEDIASI/PERDAMAIAN

(MEKANISME PEMERIKSAAN PERKARA DALAM SIDANG)

■ 1.  Pengertian Perdamaian
Yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, manjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis.
Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka ketua majelis hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai perdamaian, maka pada hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian yang dibuat di muka persidangan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap putusan perdamaian ini tidak dapat diajukan banding ke pengadilan tingkat banding.

■ 2.  Syarat Formal Upaya Perdamaian
□ a.  Adanya persetujuan kedua belah pihak.
Dalam usaha melaksanakan perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan, kedua belah pihak harus bersepekat dan menyetujui dengan suka rela untuk mengakhiri perselisihan yang sedang berlangsung. Persetujuan itu harus betul-betul murni dating dari kedua belah pihak.

☆ Persetujuan yang memenuhi syarat formil adalah sebagai berikut:
1)     Adanya kata sepakat secara sukarela (toestemming).
2)     Kedua belah pihak cakap membuat persetujuan (bekwanneid).
3)     Obyek persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bapaalde onderwerp).
4)     Berdasarkan alasan yang diperbolehkan (georrlosofde oorzaak).

□ b.   Mengakhiri Sengketa.
Apabila perdamaian telah dapat dilaksanakan maka dibuat putusan perdamaian yang lazim disebut dengan akta perdamaian. Putusan perdamaian yang dibuat dalam majelis hakim harus betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantara pihak-pihak yang berperkara secara tuntas. Putusan perdamaian hendaknya meliputi keseluruhan sengketa yang diperkarakan, hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya perkara lagi dengan masalah yang sama.

□ c.   Mengenai Sengketa Yang Telah Ada.
Syarat untuk dijadikan dasar putusan perdamaian itu hendaknya persengketaan para pihak sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke pengadilan sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di siding pengadilan.

□ d.   Bentuk Perdamaian Harus Tertulis.
Persetujuan perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis, syarat ini bersifat imperative (memaksa), jadi tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan dengan cara lisan dihadapan pejabat yang berwenang.

Jadi akta perdamaian harus dibuat secara tertulis sesuai dengan format yang telah ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku.

■ 1. Nilai Kekuatan Perdamaian.
Pada setiap permulaan siding, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak yang berperkara.Apabila upaya perdamaian itu berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian (Acta van Vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.
Akta perdamaian memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusikan. Apabila ada pihak yang tidak mau menaati isi perdamaian, maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Eksekusi dilaksanakan seperti menjalankan putusan hakim biasa. Akta perdamaian hanya bias dibuat dalam sengketa mengenaikebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi.
Akta perdamaian dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan pada kolom putusan. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan banding, kasasi ataupunpeninjauan kembali. Demikian pula terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan gugatan baru lagi.

■ 2.      Perdamaian dalam Perkara Perceraian.
Dalam sengketa yang berkaitan dengan perkara percerian, maka tindakan hakim dalam mendamaiakan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian.
Pada sidang pertama pemeriksaan perkara perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam siding tersebut, suami isteri (pihak principal) harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri dan tidak dapat menghadap secara pribadi, dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap siding pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, maupun kasasi selama perkara belum diputus pada tingkat tersebut, jadi tidak hanya dalam sidang pertama sebagaimana lazimnya perkara perdata. Dalam upaya perdamaian kedua belah pihak, pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Dan dimungkinkan pengadilan membentuk tiem mediasi secara khusus untuk menangani perkara perceraian.

■ 3.   Perdamaian di luar Sidang.
Dalam gugatan atau permohonan terdapat dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling sengketa, untuk menyelesaikan sengketa tersebut kadangkala mereka selesaiakn sendiri atau melibatkan pihak lain di luar sidang pengadilan. Disaat perkara itu belum dimajukan di pengadilan atau sudah dimajukan di pengadilan telah diselesaikan sendiri dengan cara perdamaian, sehingga permohonan atau gugatan tersebut dicabut, yang demikian itu secara hukum tidak mengikat, sehingga tidak tertutup kemungkinan dikemudian hari terjadi persengketaan kembali yang diajukan di pengadilan.
Perdamaian lewat proses pengadilan adalah lebih mengikat para pihak, menurut Pasal 30 ayat (1) HIR / Pasal 154 R.Bg, hakim sebelum memeriksa perkara perdata terlebih dahulu harus berusaha mendamaiakn kedua belah pihak, bahkan usaha mendamaikan itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam tahap banding dan kasasi.

☆ Mekanisme perdamaian perkara perceraian harus dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1)     Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
2)     Pada sidang perdamaian, suami isteri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap sendiri secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
3)     Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
4)     Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Hasil perdamaian harus dijunjung tinggi antara kedua belah pihak, sebab sekali perdamaian disepakati, maka tertutup baginya untuk mengajukan gugatan baru dengan alasan yang sama, artinya apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasar alasan yang sudah ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian dicapai.

■ 4.   Akta Perdamaian.
Pada permulaan sidang sebelum dimulai pemeriksaan perkara perceraian, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
Apabila upaya perdamaian itu berhasil, maka dibuatlah “akta perdamaian’ yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka, dengan demikian perdamaian dapat mengakhiri perkara antara pihak-pihak dan berlaku sebagai putusan hukum yang telah mempunyai hukum tetap. Kekuatan putusan perdamaian ini adalah sama dengan putusan biasa, yaitu sebagaimana putusan hakim dalam tingkat  penghabisan dan dapat dilaksanakan sepertiputusan lainnya dan tidak dapat dimintakan banding.
Perdamaian yang berhubungan dengan hukum kebendaan, akta perdamaian tersebut harus mempunyai kekuatan hukum untuk dimintakan eksekusi, apabila salah satu pihak tidak mentaati isi perdamaian yang telah disepakati.

■ 5.  Perdamaian Pada Pengadilan Tingkat Pertama.
Apabila usaha perdamaian berhasil, maka perkara dicabut dengan persetujuan para pihak, untuk itulah tidak mungkin dibuat suatu ketentuan atau syarat yang bermaksud melarang salah satu pihak melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang menganiaya dan lain-lain atau mewajibkan salah satu pihak melakukan sesuatu misalnya harus menyayangi isteri, harus mentaati suami dan lain sebagainya.
Syarat-syarat tersebut di atas tidaklah mungkin dibuat akta perdamaian. Sebab apabila ketentuan tersebut dilanggar, putusan (akta perdamaian) tersebut tidak dapat dieksekusi, karena akibat pelanggaran tersebut tidak mengakibatkan putusnya perkawinan. Apabila salah satu pihak menghendaki perceraian, satu-satunya jalan adalah mengajukan perkara perceraian baru.
Apabila tercapai perdamaian, maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat “penetapan” yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang syah berdasarkan akta nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan yang bersangkutan, dimana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum.
Apabila tercapai perdamaian maka tidak dapat diajukan permohonan / gugatan cerai lagi berdasarkan alas an yang serupa atas kemungkinan dengan alas an lain yang  telah diketahui pada saat perdamaian itu terjadi. Permohonan perceraian hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan baru yang terjadi setelah perdamaian tersebut.

■ 6.  Perdamaian Pada Pengadilan Tingkat Banding atau Kasasi.
Apabila putusan perceraian dimintakan banding atau kasasi, logikanya perceraian itu sama sekali belum pernah terjadi, sebab terjadinya suatu perceraian apabila setelah putusan cerai berkekuatan hukum tetap atau ikrar talak telah diucapkan di muka persidangan majelis hakim. Oleh karena itu pengadilan tingkat banding atau kasasi sangat terbuka untuk mengupayakan perdamaian.
Jika pada pemeriksaan perkara tingkat banding telah terjadi perdamaian sebelum perkara diputus, maka perkaranya dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak (suami isteri) yang berperkara. Dengan dicabutnya perkara tersebut, maka pengadilan tingkat banding membuat “penetapan” yang isinya : mengijinkan pihak pembanding untuk mencabut perkaranya dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan perceraian itu karena terjadi perdamaian sebelum putusan memiliki kekuatan hukum tetap, serta menyatakan bahwa kedua belah pihak tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang syah dan tetap berpegang pada akta nikah yang dimilikinya.
Apabila putusan perceraian pada tingkat banding diajukan kasasi, kemudian terjadi perdamaian sebelum Mahkamah Agung menjatuhkan putusannya, maka kedua belah pihak dapat mencabut kasasinya, disebabkan telah terjadi perdamaian. Kemudian Mahkamah Agung membuat “penetapan” yang isinya mengijinkan pemohon kasasi untuk mencabut perkaranya, membatalkan putusan cerai yang dikeluarkan oleh pengadilan tingkat banding karena terjadi perdamaian sebelum perkara perceraian memiliki kekuatan hukum tetap dan menyatakan bahwa kedua belah pihak tersebut masih tetap dalam ikatan perkawinan yang berdasar akta nikah yang dimilikinya.

■ 7.  Sidang Perkara Perceraian Tertutup untuk Umum.
Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Termasuk dalam pemeriksaan para saksi harus dilakukan dengan persidangan tertutup, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan yang prinsip dalam kehidupan rumah tangga kedua belah pihak, lebih-lebih menyangkut masalah nafkah batin. Dan tidak ketinggalan pula dalam hal pemeriksaan perkara pembatalan perkawinan. Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan dengan cara tertutup mulai dari sidang perdamaian. Pernyataan sidang tertutup tersebut harus dimuat dalam berita acara persidangan.

■ Semoga bermanfaat.

(Media Hukum Indonesia)

Jumat, 05 Agustus 2016

HUKUM PERKAWINAN

3■ Fungsi adanya pengumuman sebelum perkawinan dilaksanakan adalah untuk memberi kesempatan kepada yang berkepentingan mengetahui dan mengajukan keberatan bagi dilangsungkan perkawinan, bila ada hal-hal yang bertentangan dengan hukum agama dan kepercayaan atau bertentangan dengan ketentuan dan peraturan perundang - undangan yang berhak.

■ Syahnya perkawinan menurut UU No. 1 Th. 1974, Seperti yang telah diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan :
□ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
□ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
□ Fungsi adanya pencatatan sebelum perkawinan dilakukan adalah demi kepastian hukum dan sebagai alat bukti yang otentik.

☆ ■ Jelaskan persamaan dan perbedaan pencegahan dengan pembatalan perkawinan.?
Jawab :
□ Perbedaan keduanya :
■ Pencegahan berarti perkawinan dicegah sebelum perkawinan itu dilaksanakan.
■ Pembatalan berarti perkawinan sudah terlaksana baru diminta pembatalan.

☆ ■ Siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ?
Jawab :
■ Pihak - pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan :
□ Para keluarga dalam garis besar keturunan lurus ke atas dari suami, istri, ayah, ibu, kakek dan seterusnya.
Suami atau istri.
□ Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum putus.
□ Pejabat yang ditunjuk.
□ Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
□ Jaksa (ps. 26 (1) UUP)

☆ ■ Jelaskan akibat pembatalan perkawinan menurut UU Perkawinan dan BW ?
Jawab :
□ Menurut UU Perkawinan :
● Anak - anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan adalah sah, meskipun salah satu orang tuanya atau kedua orang tuanya beretikad buruk.
● Harta bersama merupakan milik bersama hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beretikad baik.
□ Menurut BW:
● Bila kedua orang tuanya beretikad baik atau salah seorang tuanya yang beretikad baik maka anak sah. Sedang apabila keduanya beretikad buruk maka anak dianggap tidak sah.
● Mengenai harta kekayaan menurut BW bahwa segala perjanjian yang merugikan pihak beretikad baik harus dianggap tidak ada.
☆ ■ Jelaskan alasan dan syarat apabila akan melangsungkan perkawinan lebih dari satu istri (poligami) ?.
Jawab :
1. Alasan - alasannya adalah:
● Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
● Istri mengalami cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
● Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

2.Syarat - syaratnya adalah:
● Adanya persetujuan dari istri.
● Mampu menjamin istri-istri dan anak-anaknya.
● Berlaku adil terhadap anak-anak dan istri-istri.

☆ ■ Sebutkan sebab - sebab putusnya perkawinan.
Jawab :
■ Sebab-sebab putusnya kawin adalah:
□ Kematian
□ Perceraian
□ Keputusan pengadilan

☆ ■ Jelaskan tata cara perceraian bagi suami beragama Islam dan istrinya juga beragama Islam!
Jawab :
■ Seperti tersebut dalam pasal 14 PP dan penjelasannya yang menyatakan bahwa ps. 14, 15, 16, 17, dan 18 PP mengatur tentang cerai talak.
□ Cerai talak : dilakukan dengan mengajukan surat kepada pengadilan (agama) ditempat tinggalnya dengan isinya memberitahukan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan disertai alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Dengan berpegang pada pasal 15 s/d 18 dapat dijelaskan tata cara perceraian, sbb:
Setelah pengadilan menerima pengajuan maka selanjutnya mempelajari isi surat tersebut selamat-lambatnya 30 hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya untuk diminta penjelasannya.
Pengadilan agama setelah mendapat penjelasan berusaha mendamaikan dan dapat meminta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian (BP4) setempat, agar dinasehati untuk rukun lagi.
Apabila tidak mungkin untuk didamaikan maka diadakan sidang untuk menyaksikan talak tersebut.
Suami mengikrarkan talaknya didepan Pengadilan Agama dengan hadirnya istri atau kuasanya dan menandatangani surat ikrar tersebut.
Sesaat setelah dilakukan sidang dan suami mengikrarkan talaknya, Ketua Pengadilan Agama membuat durat keterangan tentang terjadinya talak.
Surat keterangan terjadinya talak dibuat rangkap 4.
♢ Helai yang pertama beserta surat ikrar dikirim kepada pegawai pencatat perkawinan yang diwilayah hukum tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan,
♢ helai kedua dan ketiga diberikan kepada suami istri,
♢ sedang helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

■ Suami istri atau kuasanya dengan membawa surat keterangan tentang terjadinya talak datang ke pegawai pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk mendapatkan kutipan Buku Pendaftaran Talak.
Bila Pegawai Pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami berbeda dengan pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai surat keterangan dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan dilangsungkan.
Bila talak itu terjadi maka kutipan Akta Nikah masing-masing suami istri ditahan oleh pengadian ditempat talak itu terjadi dan dibuat catatan dalam ruang yang tersedia pada kutipan Akta Nikah.

☆ ■ Jelaskan tata cara rujuk!
Jawab :
□ a. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama ke Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR wilayah hukum tempat tinggal istri dengan membawa kutipan Buku Daftar Talak surat keterangan lain yang diperlukan ps. 32 (1) PMag No. 3/75.
□ b.Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri didepan PPN/P3NTR yang kemudian diperiksa dan diselidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk menurut hukum manakahat, apakah yang akan dirujuk masih dalam iddah taka raja’i dan apakah perempuan yang dirujuk itu betul bekas istrinya ps. 32 (2, 3) Pmag No. 3/1975.
□ Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftar Rujuk.
□ Rujuk yang dilakukan didepan P3NTR Daftar Rujuk dibuat rangkap 2 diisi dan ditandatangani oleh suami istri serta saksi-saksi, sehelai dikirim ke PPN diwilayahnya diserta surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam BPR dan yang lain disimpan.
□ PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan BPR menurut contoh yang diberikan Pengadilan Agama (ditetapkan Menteri Agama)

■ Semoga Bermanfaat ■

Eksepsi


Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (Objection).
Bisa juga berarti pembelaan (Plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat.
Namun tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu :
Jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible), dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (Verweer ten principale).

■ Cara mengajukan Eksepsi ■

□ Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 136 HIR,

□ Cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan eksepsi, dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.

■ Cara mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio Declinatoir)
Pengajuan Eksepsi kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa :
□ Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan Tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak mengajukannya sejak proses dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan.
□ Bahkan dapat diajukan pada tingkat banding dan kasasi.
■ Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv, telah mengatur sebagai berikut “ dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang.” Yang dimaksud dalam pasal ini adalah
Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar yurisdiksinya atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut mesti dilakukan secara ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang itu.

■ Cara pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Bentuk dan saat pengajuan eksepsi kompentensi relatif diatur dalam pasal 125 (2) dan pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal tersebut dapat dijelaskan hal sebagai berikut :
□ Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan secara lisan hal tersebut diatur dalam pasal 133 HIR oleh karenanya PN tidak boleh menolak dan mengenyampingkannya, dan hakim harus menerima dan mencatatnya dalam berita acara sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya. Selain itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dapat diajukan secara tulisan (in writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) Jo. Pasal 121 HIR.
■ Menurut Pasal 121 HIR, Tergugat pada hari sidang yangditentukan diberi hak mengajukan jawaban tertulis, sedang pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan dalam surat jawaban  terguugat dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif yang menyatakan perkara yang disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN yang bersangkutan.
■ Oleh karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam surat jawaban, berarti mengajuannya bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari bantahan terhadap pokok perkara.
□ Meskipun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili secara absolut dan relatif, namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui keberadaannya dalam praktek hukum dan doktrin hukum. dan sebenarnya keabsahan dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara tersirat dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv, yang mengatur sebagai berikut :
■ Perlawanan yang hendak dikemukakan oleh Tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.
Dalam praktik acara perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi mengenai kompetensi yang cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv. Ketentuan tersebut telah dijadikan pedoman oleh para praktisi hukum yang pada pokoknya menggariskan :
semua eksepsi kecuali eksepsi kompetensi absolut harus disampaikan bersama sama dengan jawaban pertama terhadap pokok perkara, dan jika tidak dilakukan bersamaan maka hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.
Bentuk pengajuan eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan tertulis, sepanjang eksepsi disampaikan sekaligus bersama dengan bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika eksepsi tersebut terdiri dari beberapa jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut maka harus dilakukan secara sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan. Eksepsi lain yang tidak diajukan secara sekaligus bersama jawban pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136 HIR dan 114 Rv.
Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan diputus bersama-sama pokok perkara. Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir.

■ Dan jika eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, yaitu dengan amar putusan : mengabulkan eksepsi Tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard). Dan bila eksepsi ditolak maka pengadilan akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan pokok perkara sehingga putusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan yang terjadi secara tuntas antara Penggugat dan Tergugat.

☆ Jenis Eksepsi :
■ Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu. Misalnya :
■ Eksepsi nebis in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya.
■ Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke verklaard).
□ Secara garis besar eksepsi prosesual dapat dibagi kepada dua bagian :
■ Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan dapat diklasifikasikan, eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara absolut dan eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara relatif.
□ Dan untuk eksepsi kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv.
■ Berdasarkan ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan kewenangan relatif PN berdasarkan patokan : (actor sequitor forumrer), (actor sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa hak opsi), tempat tinggal Tergugat, forum rei sitae, forum rei sitae dengan hak opsi, dan domisili pilihan. Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi.
■ Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering ditemukan dalam praktek antara lain :

■ Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan berbagai bentuk eksepsi, antara lain karena surat Kuasa bersifat umum, hal ini dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR. Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994).
■ Dan eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat kuasa yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU no 40 tahun 2007 tentang perseroan yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah direksi.
■ Eksepsi Error in Persona, Tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exceptio in person.
■ Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa sebagai berikut :
□ Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang mengemukakan bahwa penggugat tidak memiliki persona standi in judicio didepan PN karena penggugat bukan orang yang berhak oleh karenanya tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai contoh apabila yang mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan exceptio in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni orang yang mengajukan gugatan bukan orang yang mempunyai kedudukan hukum untuk menggugat atas nama yayasan.
Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat,  sebagai contoh putusan MA no 601 K/Sip/1975, tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan yayasan. Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat, karena yang mestinya ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan.
■ Exceptio plurium litis consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini adalah apabila orang yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap. Atau orang yang bertindak sebagai Penggugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus diikut sertakan sebagai Penggugat atau Tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan dapat diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh.

■ Ekseptio Res Judicata atau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van gewijsde zaak, kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan, dan terhadapnya telah dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk memperkarakannya kembali.

■ Exceptio Obscuur Libel,  yang dimaksud dengan obscuur libel surat gugatan tidak terang isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk). Dalam praktek dikenal beberapa bentuk eksepsi gugatan kabur. Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu antara lain :
Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak menjelaskan dasar hukum (rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar fakta (Fatelijke grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil gugatan dengan kata lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde conclusie).
Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi mengenai tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan mengenai tanah, anatara lain tidak disebutnya batas batas objek sengketa, luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasainya tergugat.
Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973. Petitum gugatan meminta : 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2) menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah terebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Kontradiksi antara Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan petitum harus saling mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu tidak dipenuhi, mengakibatkan gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan hal itu hal hal yang dapat dituntut dalam petitum, harus mengenai penyelesaian sengketa yang didalilkan. Mesti terbina singkronisasi dan konsistensi antara posita dengan petitum. Selanjutnya hanya yang dijelaskan dalam posita yang dapat diminta dalam petitum. Sesuatu yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak dapat diminta dalam petitum.
Masalah Posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun ada yang berpendapat wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus spesifik dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Alasannya, seorang debitur yang ingkar janji atau lalai memenuhi pembayaran utang tepat pada waktunya, jelas telah melakukan pelanggaran atas hak kreditur. Dengan demikian, terdapat persamaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. akan tetapi jika diteliti lebih lanjut terdapat perbedaan prinsip antara keduanya, antara lain :
Ditunjau dari segi hukum,
■ Wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan (aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, 1) harus ada lebih dahulu perjanjian para pihak, 2) salah satu perjanjian menggariskan apa yang telah disepakati harus dipenuhi atau promise must be kept, 3) wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi prestasi tepat waktu, tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan.

■ Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar hukum pidana atau perdata maupun keduanya.
Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut dalam wanprestasi pada prinsipnya diperlukan ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora stelling (interpellatio) kecuali jika dalam perjanjian telah mencantumkan mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan PMH tidak diperlukan somasi, kapan saja terjadi PMH pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi.
Dari segi tuntutan ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH Perdata, mengatur jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut sejak terjadi kelalaian (wanprestasi), dan pasal 1236 DAN 1243 KUH Perdata mengatur tentang jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut yang terdiri dari : kerugian yang dialami oleh kreditur, keuntungan yang diperoleh sekiranya perjanjian dipenuhi dan ganti rugi bunga atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar hukum PMH tidak menyebutkan bentuk ganti ruginyam juga tidak menyebutkan rincian ganti rugi dengan demikian dapat dituntut : a) ganti rugi nyata (actual loss) kerugian materiil; b) kerugian immateril berupa ganti rugi pemulihan kepada keadaan semula atau restoration to original condition (herstel in de oorspronkelijk toestand, hestel in de vorige toestand).
Berdasarkan uraian tersebut pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi dengan PMH ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu dalam merumuskan dalil gugatan tidak dibenarkan 1) mencampur adukan wanprestasi dengan PMH dalam gugatan, 2) dianggap keliru merumuskan dalil PMH dalam gugatan jika terjadi in konkreto secara realistis adalah wanprestasi 3) atau tidak tepat jika gugatan wanpretasi sedang peristiwa hukum yang terjadi secara objektif ialah PMH, akan tetapi dimungkinkan menggabungkan atau mengakumulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas pemisahannya.

■ Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan doktrin terdapat beberapa macam eksepsi hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk pada pasal 136 dan 114 Rv dengan demikian caranya sama dengan eksepsi prosesual. Namun perlu diketahui jenis jenis eksepsi materil sebagai berikut :
Exceptio dilatoria,  atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan penggugat tidak dapat diperiksa karena prematur dalam arti gugatan mengandung sifat atau keadaan prematur karena batas waktu untuk menggugat belum sampai pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan.
■ Exceptio Premtoria,  yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set aside) gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa yang digugat telah tersingkir umpanya hal yang digugat bersumber dari perjanjian yang telah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, misalnya permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi, dikompensasi, dan sebagainya. Atau apa yang digugat telah dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR. Bentuk exceptio peremtoria (peremtoria exceptie) antara lain terdiri dari :
■ Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar hukum untuk memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan (release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu. Dan mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan diperiksanya dan diputus bersama dengan pokok perkara dalam bentuk putusan akhir.
Exceptio non pecuniae numeratae,  eksepsi yang berisikan sangkalan tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat kaitannya denan kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang disebut dalam perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu membuktikan eksepsinyapun ditolak.
■ Exceptio doli mali,  atau biasa disebut juga exceptio doli presentis, yaitu keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan perjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berikaitan dengan ketentuan pasal 1328 KUH Perdata.
■ Exceptio metus,  eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan pengguagat yang bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan erat dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata.
■ Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing masing pihak dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik. Seseroang tidak berhak menggugat apabilia dia sendiri tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
■ Exceptio Domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat terhadap gugatan, yang berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.
■ Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa sengketa yang digugat oleh penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung atau sedang berjalan pemeriksaannya dipengadilan.

Sumber : Hukum Acara Perdata
(Yahya Harahap)