Jumat, 12 Agustus 2016

MEDIASI/PERDAMAIAN

MEDIASI/PERDAMAIAN

(MEKANISME PEMERIKSAAN PERKARA DALAM SIDANG)

■ 1.  Pengertian Perdamaian
Yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, manjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis.
Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka ketua majelis hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai perdamaian, maka pada hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian yang dibuat di muka persidangan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap putusan perdamaian ini tidak dapat diajukan banding ke pengadilan tingkat banding.

■ 2.  Syarat Formal Upaya Perdamaian
□ a.  Adanya persetujuan kedua belah pihak.
Dalam usaha melaksanakan perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan, kedua belah pihak harus bersepekat dan menyetujui dengan suka rela untuk mengakhiri perselisihan yang sedang berlangsung. Persetujuan itu harus betul-betul murni dating dari kedua belah pihak.

☆ Persetujuan yang memenuhi syarat formil adalah sebagai berikut:
1)     Adanya kata sepakat secara sukarela (toestemming).
2)     Kedua belah pihak cakap membuat persetujuan (bekwanneid).
3)     Obyek persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bapaalde onderwerp).
4)     Berdasarkan alasan yang diperbolehkan (georrlosofde oorzaak).

□ b.   Mengakhiri Sengketa.
Apabila perdamaian telah dapat dilaksanakan maka dibuat putusan perdamaian yang lazim disebut dengan akta perdamaian. Putusan perdamaian yang dibuat dalam majelis hakim harus betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantara pihak-pihak yang berperkara secara tuntas. Putusan perdamaian hendaknya meliputi keseluruhan sengketa yang diperkarakan, hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya perkara lagi dengan masalah yang sama.

□ c.   Mengenai Sengketa Yang Telah Ada.
Syarat untuk dijadikan dasar putusan perdamaian itu hendaknya persengketaan para pihak sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke pengadilan sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di siding pengadilan.

□ d.   Bentuk Perdamaian Harus Tertulis.
Persetujuan perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis, syarat ini bersifat imperative (memaksa), jadi tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan dengan cara lisan dihadapan pejabat yang berwenang.

Jadi akta perdamaian harus dibuat secara tertulis sesuai dengan format yang telah ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku.

■ 1. Nilai Kekuatan Perdamaian.
Pada setiap permulaan siding, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak yang berperkara.Apabila upaya perdamaian itu berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian (Acta van Vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.
Akta perdamaian memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusikan. Apabila ada pihak yang tidak mau menaati isi perdamaian, maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Eksekusi dilaksanakan seperti menjalankan putusan hakim biasa. Akta perdamaian hanya bias dibuat dalam sengketa mengenaikebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi.
Akta perdamaian dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan pada kolom putusan. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan banding, kasasi ataupunpeninjauan kembali. Demikian pula terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan gugatan baru lagi.

■ 2.      Perdamaian dalam Perkara Perceraian.
Dalam sengketa yang berkaitan dengan perkara percerian, maka tindakan hakim dalam mendamaiakan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian.
Pada sidang pertama pemeriksaan perkara perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam siding tersebut, suami isteri (pihak principal) harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri dan tidak dapat menghadap secara pribadi, dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap siding pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, maupun kasasi selama perkara belum diputus pada tingkat tersebut, jadi tidak hanya dalam sidang pertama sebagaimana lazimnya perkara perdata. Dalam upaya perdamaian kedua belah pihak, pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Dan dimungkinkan pengadilan membentuk tiem mediasi secara khusus untuk menangani perkara perceraian.

■ 3.   Perdamaian di luar Sidang.
Dalam gugatan atau permohonan terdapat dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling sengketa, untuk menyelesaikan sengketa tersebut kadangkala mereka selesaiakn sendiri atau melibatkan pihak lain di luar sidang pengadilan. Disaat perkara itu belum dimajukan di pengadilan atau sudah dimajukan di pengadilan telah diselesaikan sendiri dengan cara perdamaian, sehingga permohonan atau gugatan tersebut dicabut, yang demikian itu secara hukum tidak mengikat, sehingga tidak tertutup kemungkinan dikemudian hari terjadi persengketaan kembali yang diajukan di pengadilan.
Perdamaian lewat proses pengadilan adalah lebih mengikat para pihak, menurut Pasal 30 ayat (1) HIR / Pasal 154 R.Bg, hakim sebelum memeriksa perkara perdata terlebih dahulu harus berusaha mendamaiakn kedua belah pihak, bahkan usaha mendamaikan itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam tahap banding dan kasasi.

☆ Mekanisme perdamaian perkara perceraian harus dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1)     Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
2)     Pada sidang perdamaian, suami isteri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap sendiri secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
3)     Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
4)     Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Hasil perdamaian harus dijunjung tinggi antara kedua belah pihak, sebab sekali perdamaian disepakati, maka tertutup baginya untuk mengajukan gugatan baru dengan alasan yang sama, artinya apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasar alasan yang sudah ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian dicapai.

■ 4.   Akta Perdamaian.
Pada permulaan sidang sebelum dimulai pemeriksaan perkara perceraian, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
Apabila upaya perdamaian itu berhasil, maka dibuatlah “akta perdamaian’ yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka, dengan demikian perdamaian dapat mengakhiri perkara antara pihak-pihak dan berlaku sebagai putusan hukum yang telah mempunyai hukum tetap. Kekuatan putusan perdamaian ini adalah sama dengan putusan biasa, yaitu sebagaimana putusan hakim dalam tingkat  penghabisan dan dapat dilaksanakan sepertiputusan lainnya dan tidak dapat dimintakan banding.
Perdamaian yang berhubungan dengan hukum kebendaan, akta perdamaian tersebut harus mempunyai kekuatan hukum untuk dimintakan eksekusi, apabila salah satu pihak tidak mentaati isi perdamaian yang telah disepakati.

■ 5.  Perdamaian Pada Pengadilan Tingkat Pertama.
Apabila usaha perdamaian berhasil, maka perkara dicabut dengan persetujuan para pihak, untuk itulah tidak mungkin dibuat suatu ketentuan atau syarat yang bermaksud melarang salah satu pihak melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang menganiaya dan lain-lain atau mewajibkan salah satu pihak melakukan sesuatu misalnya harus menyayangi isteri, harus mentaati suami dan lain sebagainya.
Syarat-syarat tersebut di atas tidaklah mungkin dibuat akta perdamaian. Sebab apabila ketentuan tersebut dilanggar, putusan (akta perdamaian) tersebut tidak dapat dieksekusi, karena akibat pelanggaran tersebut tidak mengakibatkan putusnya perkawinan. Apabila salah satu pihak menghendaki perceraian, satu-satunya jalan adalah mengajukan perkara perceraian baru.
Apabila tercapai perdamaian, maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat “penetapan” yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang syah berdasarkan akta nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan yang bersangkutan, dimana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum.
Apabila tercapai perdamaian maka tidak dapat diajukan permohonan / gugatan cerai lagi berdasarkan alas an yang serupa atas kemungkinan dengan alas an lain yang  telah diketahui pada saat perdamaian itu terjadi. Permohonan perceraian hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan baru yang terjadi setelah perdamaian tersebut.

■ 6.  Perdamaian Pada Pengadilan Tingkat Banding atau Kasasi.
Apabila putusan perceraian dimintakan banding atau kasasi, logikanya perceraian itu sama sekali belum pernah terjadi, sebab terjadinya suatu perceraian apabila setelah putusan cerai berkekuatan hukum tetap atau ikrar talak telah diucapkan di muka persidangan majelis hakim. Oleh karena itu pengadilan tingkat banding atau kasasi sangat terbuka untuk mengupayakan perdamaian.
Jika pada pemeriksaan perkara tingkat banding telah terjadi perdamaian sebelum perkara diputus, maka perkaranya dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak (suami isteri) yang berperkara. Dengan dicabutnya perkara tersebut, maka pengadilan tingkat banding membuat “penetapan” yang isinya : mengijinkan pihak pembanding untuk mencabut perkaranya dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan perceraian itu karena terjadi perdamaian sebelum putusan memiliki kekuatan hukum tetap, serta menyatakan bahwa kedua belah pihak tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang syah dan tetap berpegang pada akta nikah yang dimilikinya.
Apabila putusan perceraian pada tingkat banding diajukan kasasi, kemudian terjadi perdamaian sebelum Mahkamah Agung menjatuhkan putusannya, maka kedua belah pihak dapat mencabut kasasinya, disebabkan telah terjadi perdamaian. Kemudian Mahkamah Agung membuat “penetapan” yang isinya mengijinkan pemohon kasasi untuk mencabut perkaranya, membatalkan putusan cerai yang dikeluarkan oleh pengadilan tingkat banding karena terjadi perdamaian sebelum perkara perceraian memiliki kekuatan hukum tetap dan menyatakan bahwa kedua belah pihak tersebut masih tetap dalam ikatan perkawinan yang berdasar akta nikah yang dimilikinya.

■ 7.  Sidang Perkara Perceraian Tertutup untuk Umum.
Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Termasuk dalam pemeriksaan para saksi harus dilakukan dengan persidangan tertutup, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan yang prinsip dalam kehidupan rumah tangga kedua belah pihak, lebih-lebih menyangkut masalah nafkah batin. Dan tidak ketinggalan pula dalam hal pemeriksaan perkara pembatalan perkawinan. Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan dengan cara tertutup mulai dari sidang perdamaian. Pernyataan sidang tertutup tersebut harus dimuat dalam berita acara persidangan.

■ Semoga bermanfaat.

(Media Hukum Indonesia)

Jumat, 05 Agustus 2016

HUKUM PERKAWINAN

3■ Fungsi adanya pengumuman sebelum perkawinan dilaksanakan adalah untuk memberi kesempatan kepada yang berkepentingan mengetahui dan mengajukan keberatan bagi dilangsungkan perkawinan, bila ada hal-hal yang bertentangan dengan hukum agama dan kepercayaan atau bertentangan dengan ketentuan dan peraturan perundang - undangan yang berhak.

■ Syahnya perkawinan menurut UU No. 1 Th. 1974, Seperti yang telah diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan :
□ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
□ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
□ Fungsi adanya pencatatan sebelum perkawinan dilakukan adalah demi kepastian hukum dan sebagai alat bukti yang otentik.

☆ ■ Jelaskan persamaan dan perbedaan pencegahan dengan pembatalan perkawinan.?
Jawab :
□ Perbedaan keduanya :
■ Pencegahan berarti perkawinan dicegah sebelum perkawinan itu dilaksanakan.
■ Pembatalan berarti perkawinan sudah terlaksana baru diminta pembatalan.

☆ ■ Siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ?
Jawab :
■ Pihak - pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan :
□ Para keluarga dalam garis besar keturunan lurus ke atas dari suami, istri, ayah, ibu, kakek dan seterusnya.
Suami atau istri.
□ Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum putus.
□ Pejabat yang ditunjuk.
□ Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
□ Jaksa (ps. 26 (1) UUP)

☆ ■ Jelaskan akibat pembatalan perkawinan menurut UU Perkawinan dan BW ?
Jawab :
□ Menurut UU Perkawinan :
● Anak - anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan adalah sah, meskipun salah satu orang tuanya atau kedua orang tuanya beretikad buruk.
● Harta bersama merupakan milik bersama hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beretikad baik.
□ Menurut BW:
● Bila kedua orang tuanya beretikad baik atau salah seorang tuanya yang beretikad baik maka anak sah. Sedang apabila keduanya beretikad buruk maka anak dianggap tidak sah.
● Mengenai harta kekayaan menurut BW bahwa segala perjanjian yang merugikan pihak beretikad baik harus dianggap tidak ada.
☆ ■ Jelaskan alasan dan syarat apabila akan melangsungkan perkawinan lebih dari satu istri (poligami) ?.
Jawab :
1. Alasan - alasannya adalah:
● Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
● Istri mengalami cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
● Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

2.Syarat - syaratnya adalah:
● Adanya persetujuan dari istri.
● Mampu menjamin istri-istri dan anak-anaknya.
● Berlaku adil terhadap anak-anak dan istri-istri.

☆ ■ Sebutkan sebab - sebab putusnya perkawinan.
Jawab :
■ Sebab-sebab putusnya kawin adalah:
□ Kematian
□ Perceraian
□ Keputusan pengadilan

☆ ■ Jelaskan tata cara perceraian bagi suami beragama Islam dan istrinya juga beragama Islam!
Jawab :
■ Seperti tersebut dalam pasal 14 PP dan penjelasannya yang menyatakan bahwa ps. 14, 15, 16, 17, dan 18 PP mengatur tentang cerai talak.
□ Cerai talak : dilakukan dengan mengajukan surat kepada pengadilan (agama) ditempat tinggalnya dengan isinya memberitahukan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan disertai alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Dengan berpegang pada pasal 15 s/d 18 dapat dijelaskan tata cara perceraian, sbb:
Setelah pengadilan menerima pengajuan maka selanjutnya mempelajari isi surat tersebut selamat-lambatnya 30 hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya untuk diminta penjelasannya.
Pengadilan agama setelah mendapat penjelasan berusaha mendamaikan dan dapat meminta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian (BP4) setempat, agar dinasehati untuk rukun lagi.
Apabila tidak mungkin untuk didamaikan maka diadakan sidang untuk menyaksikan talak tersebut.
Suami mengikrarkan talaknya didepan Pengadilan Agama dengan hadirnya istri atau kuasanya dan menandatangani surat ikrar tersebut.
Sesaat setelah dilakukan sidang dan suami mengikrarkan talaknya, Ketua Pengadilan Agama membuat durat keterangan tentang terjadinya talak.
Surat keterangan terjadinya talak dibuat rangkap 4.
♢ Helai yang pertama beserta surat ikrar dikirim kepada pegawai pencatat perkawinan yang diwilayah hukum tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan,
♢ helai kedua dan ketiga diberikan kepada suami istri,
♢ sedang helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

■ Suami istri atau kuasanya dengan membawa surat keterangan tentang terjadinya talak datang ke pegawai pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk mendapatkan kutipan Buku Pendaftaran Talak.
Bila Pegawai Pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami berbeda dengan pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai surat keterangan dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan dilangsungkan.
Bila talak itu terjadi maka kutipan Akta Nikah masing-masing suami istri ditahan oleh pengadian ditempat talak itu terjadi dan dibuat catatan dalam ruang yang tersedia pada kutipan Akta Nikah.

☆ ■ Jelaskan tata cara rujuk!
Jawab :
□ a. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama ke Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR wilayah hukum tempat tinggal istri dengan membawa kutipan Buku Daftar Talak surat keterangan lain yang diperlukan ps. 32 (1) PMag No. 3/75.
□ b.Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri didepan PPN/P3NTR yang kemudian diperiksa dan diselidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk menurut hukum manakahat, apakah yang akan dirujuk masih dalam iddah taka raja’i dan apakah perempuan yang dirujuk itu betul bekas istrinya ps. 32 (2, 3) Pmag No. 3/1975.
□ Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftar Rujuk.
□ Rujuk yang dilakukan didepan P3NTR Daftar Rujuk dibuat rangkap 2 diisi dan ditandatangani oleh suami istri serta saksi-saksi, sehelai dikirim ke PPN diwilayahnya diserta surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam BPR dan yang lain disimpan.
□ PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan BPR menurut contoh yang diberikan Pengadilan Agama (ditetapkan Menteri Agama)

■ Semoga Bermanfaat ■

Eksepsi


Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (Objection).
Bisa juga berarti pembelaan (Plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat.
Namun tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu :
Jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible), dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (Verweer ten principale).

■ Cara mengajukan Eksepsi ■

□ Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 136 HIR,

□ Cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan eksepsi, dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.

■ Cara mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio Declinatoir)
Pengajuan Eksepsi kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa :
□ Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan Tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak mengajukannya sejak proses dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan.
□ Bahkan dapat diajukan pada tingkat banding dan kasasi.
■ Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv, telah mengatur sebagai berikut “ dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang.” Yang dimaksud dalam pasal ini adalah
Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar yurisdiksinya atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut mesti dilakukan secara ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang itu.

■ Cara pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Bentuk dan saat pengajuan eksepsi kompentensi relatif diatur dalam pasal 125 (2) dan pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal tersebut dapat dijelaskan hal sebagai berikut :
□ Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan secara lisan hal tersebut diatur dalam pasal 133 HIR oleh karenanya PN tidak boleh menolak dan mengenyampingkannya, dan hakim harus menerima dan mencatatnya dalam berita acara sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya. Selain itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dapat diajukan secara tulisan (in writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) Jo. Pasal 121 HIR.
■ Menurut Pasal 121 HIR, Tergugat pada hari sidang yangditentukan diberi hak mengajukan jawaban tertulis, sedang pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan dalam surat jawaban  terguugat dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif yang menyatakan perkara yang disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN yang bersangkutan.
■ Oleh karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam surat jawaban, berarti mengajuannya bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari bantahan terhadap pokok perkara.
□ Meskipun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili secara absolut dan relatif, namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui keberadaannya dalam praktek hukum dan doktrin hukum. dan sebenarnya keabsahan dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara tersirat dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv, yang mengatur sebagai berikut :
■ Perlawanan yang hendak dikemukakan oleh Tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.
Dalam praktik acara perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi mengenai kompetensi yang cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv. Ketentuan tersebut telah dijadikan pedoman oleh para praktisi hukum yang pada pokoknya menggariskan :
semua eksepsi kecuali eksepsi kompetensi absolut harus disampaikan bersama sama dengan jawaban pertama terhadap pokok perkara, dan jika tidak dilakukan bersamaan maka hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.
Bentuk pengajuan eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan tertulis, sepanjang eksepsi disampaikan sekaligus bersama dengan bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika eksepsi tersebut terdiri dari beberapa jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut maka harus dilakukan secara sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan. Eksepsi lain yang tidak diajukan secara sekaligus bersama jawban pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136 HIR dan 114 Rv.
Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan diputus bersama-sama pokok perkara. Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir.

■ Dan jika eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, yaitu dengan amar putusan : mengabulkan eksepsi Tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard). Dan bila eksepsi ditolak maka pengadilan akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan pokok perkara sehingga putusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan yang terjadi secara tuntas antara Penggugat dan Tergugat.

☆ Jenis Eksepsi :
■ Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu. Misalnya :
■ Eksepsi nebis in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya.
■ Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke verklaard).
□ Secara garis besar eksepsi prosesual dapat dibagi kepada dua bagian :
■ Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan dapat diklasifikasikan, eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara absolut dan eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara relatif.
□ Dan untuk eksepsi kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv.
■ Berdasarkan ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan kewenangan relatif PN berdasarkan patokan : (actor sequitor forumrer), (actor sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa hak opsi), tempat tinggal Tergugat, forum rei sitae, forum rei sitae dengan hak opsi, dan domisili pilihan. Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi.
■ Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering ditemukan dalam praktek antara lain :

■ Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan berbagai bentuk eksepsi, antara lain karena surat Kuasa bersifat umum, hal ini dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR. Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994).
■ Dan eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat kuasa yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU no 40 tahun 2007 tentang perseroan yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah direksi.
■ Eksepsi Error in Persona, Tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exceptio in person.
■ Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa sebagai berikut :
□ Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang mengemukakan bahwa penggugat tidak memiliki persona standi in judicio didepan PN karena penggugat bukan orang yang berhak oleh karenanya tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai contoh apabila yang mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan exceptio in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni orang yang mengajukan gugatan bukan orang yang mempunyai kedudukan hukum untuk menggugat atas nama yayasan.
Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat,  sebagai contoh putusan MA no 601 K/Sip/1975, tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan yayasan. Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat, karena yang mestinya ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan.
■ Exceptio plurium litis consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini adalah apabila orang yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap. Atau orang yang bertindak sebagai Penggugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus diikut sertakan sebagai Penggugat atau Tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan dapat diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh.

■ Ekseptio Res Judicata atau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van gewijsde zaak, kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan, dan terhadapnya telah dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk memperkarakannya kembali.

■ Exceptio Obscuur Libel,  yang dimaksud dengan obscuur libel surat gugatan tidak terang isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk). Dalam praktek dikenal beberapa bentuk eksepsi gugatan kabur. Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu antara lain :
Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak menjelaskan dasar hukum (rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar fakta (Fatelijke grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil gugatan dengan kata lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde conclusie).
Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi mengenai tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan mengenai tanah, anatara lain tidak disebutnya batas batas objek sengketa, luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasainya tergugat.
Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973. Petitum gugatan meminta : 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2) menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah terebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Kontradiksi antara Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan petitum harus saling mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu tidak dipenuhi, mengakibatkan gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan hal itu hal hal yang dapat dituntut dalam petitum, harus mengenai penyelesaian sengketa yang didalilkan. Mesti terbina singkronisasi dan konsistensi antara posita dengan petitum. Selanjutnya hanya yang dijelaskan dalam posita yang dapat diminta dalam petitum. Sesuatu yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak dapat diminta dalam petitum.
Masalah Posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun ada yang berpendapat wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus spesifik dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Alasannya, seorang debitur yang ingkar janji atau lalai memenuhi pembayaran utang tepat pada waktunya, jelas telah melakukan pelanggaran atas hak kreditur. Dengan demikian, terdapat persamaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. akan tetapi jika diteliti lebih lanjut terdapat perbedaan prinsip antara keduanya, antara lain :
Ditunjau dari segi hukum,
■ Wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan (aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, 1) harus ada lebih dahulu perjanjian para pihak, 2) salah satu perjanjian menggariskan apa yang telah disepakati harus dipenuhi atau promise must be kept, 3) wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi prestasi tepat waktu, tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan.

■ Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar hukum pidana atau perdata maupun keduanya.
Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut dalam wanprestasi pada prinsipnya diperlukan ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora stelling (interpellatio) kecuali jika dalam perjanjian telah mencantumkan mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan PMH tidak diperlukan somasi, kapan saja terjadi PMH pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi.
Dari segi tuntutan ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH Perdata, mengatur jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut sejak terjadi kelalaian (wanprestasi), dan pasal 1236 DAN 1243 KUH Perdata mengatur tentang jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut yang terdiri dari : kerugian yang dialami oleh kreditur, keuntungan yang diperoleh sekiranya perjanjian dipenuhi dan ganti rugi bunga atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar hukum PMH tidak menyebutkan bentuk ganti ruginyam juga tidak menyebutkan rincian ganti rugi dengan demikian dapat dituntut : a) ganti rugi nyata (actual loss) kerugian materiil; b) kerugian immateril berupa ganti rugi pemulihan kepada keadaan semula atau restoration to original condition (herstel in de oorspronkelijk toestand, hestel in de vorige toestand).
Berdasarkan uraian tersebut pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi dengan PMH ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu dalam merumuskan dalil gugatan tidak dibenarkan 1) mencampur adukan wanprestasi dengan PMH dalam gugatan, 2) dianggap keliru merumuskan dalil PMH dalam gugatan jika terjadi in konkreto secara realistis adalah wanprestasi 3) atau tidak tepat jika gugatan wanpretasi sedang peristiwa hukum yang terjadi secara objektif ialah PMH, akan tetapi dimungkinkan menggabungkan atau mengakumulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas pemisahannya.

■ Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan doktrin terdapat beberapa macam eksepsi hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk pada pasal 136 dan 114 Rv dengan demikian caranya sama dengan eksepsi prosesual. Namun perlu diketahui jenis jenis eksepsi materil sebagai berikut :
Exceptio dilatoria,  atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan penggugat tidak dapat diperiksa karena prematur dalam arti gugatan mengandung sifat atau keadaan prematur karena batas waktu untuk menggugat belum sampai pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan.
■ Exceptio Premtoria,  yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set aside) gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa yang digugat telah tersingkir umpanya hal yang digugat bersumber dari perjanjian yang telah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, misalnya permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi, dikompensasi, dan sebagainya. Atau apa yang digugat telah dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR. Bentuk exceptio peremtoria (peremtoria exceptie) antara lain terdiri dari :
■ Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar hukum untuk memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan (release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu. Dan mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan diperiksanya dan diputus bersama dengan pokok perkara dalam bentuk putusan akhir.
Exceptio non pecuniae numeratae,  eksepsi yang berisikan sangkalan tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat kaitannya denan kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang disebut dalam perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu membuktikan eksepsinyapun ditolak.
■ Exceptio doli mali,  atau biasa disebut juga exceptio doli presentis, yaitu keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan perjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berikaitan dengan ketentuan pasal 1328 KUH Perdata.
■ Exceptio metus,  eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan pengguagat yang bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan erat dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata.
■ Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing masing pihak dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik. Seseroang tidak berhak menggugat apabilia dia sendiri tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
■ Exceptio Domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat terhadap gugatan, yang berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.
■ Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa sengketa yang digugat oleh penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung atau sedang berjalan pemeriksaannya dipengadilan.

Sumber : Hukum Acara Perdata
(Yahya Harahap)

Selasa, 02 Oktober 2012

Status Anak Zina dalam Undang-Undang Pemerintah

Anak zina adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum  yang diatur oleh masing-masing agamanya dan kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia (vide pasal 2 (1) dan (2) UU No.1/1974). 
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dari KUA untuk mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya dan kepercayaan selain islam, maka pencatatan pada Kantor Catatann Sipil (vide pasal 2 (1) dan (2) PP No.9/1975) tentang pelaksanaan UU No.1 1974 tentang perkawinan)
Jadi, jika perkawinan tidak tercatat di KUA dan Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut Hukum negara. sehingga Anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide pasal 43 (1) PP No.9/ 1975).
Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42 – 43 yang pada pokoknya menyatakan : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Status sebagai anak yang dilahirkan diluar pernikahan merupakan suatu masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak luar nikah tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidak absahan pada anak luar nikah tersebut. Konsekwensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajibanya yang dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya bersifat material.
Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah. Pasal 280 – Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap anak di luar nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya. Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan. Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu harus dicantumkan pada margin akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak minta agar hal itu dicantumkan pada margin akta kelahirannya. Bagaimanapun kelalaian mencatatkan pengakuan pada margin akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.
Adapun prosedur pengakuan anak diluar nikah, diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menegaskan hal-hal sebagai berikut :
  1. Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.
  2. Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan pernikahan yang sah.
  3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.
Adapun syarat-syarat dokumen yang dibutuhkan dalam Akta Pengakuan Anak, umumnya Kantor Catatan Sipil membutuhkan dokumen-dokumen sebagai berikut :
  1. Surat pernyataan pengakuan si Ayah yang diketahui oleh Ibunya si anak.
  2. KTP dan Kartu Keluarga si Ayah dan si Ibu.
  3. KTP dan Kartu Keluarga para saksi (minimal 2 orang dari masing-masing keluarga si Ayah dan si Ibu).
  4. Akta kelahiran si Anak luar Nikah dan Akta kelahiran si Ayah dan si Ibu.
Dalam hal permohonan Akta pengakuan Anak Luar Nikah dilakukan melebihi 30 hari setelah tanggal pengakuan si Ayah terhadap anak, maka Catatan Sipil dapat meminta terlebih dahulu adanya penetapan Pengadilan Negeri.
Sedangkan menurut putusan MK, bahwa Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. 

Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan"

Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak  diberikan untuk anak zina.

Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).

Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).
Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).
Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.
Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut anak sah berada di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.

Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui  pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
b.    Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.

Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
a.    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
b.    Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkanPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Namun perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
a.    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
b.    Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup umur; namun perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya  tetap dianggap anak sah.
Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya.

Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.

B.    Kedudukan Anak Luar Kawin

Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.
Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUHPerdata.
Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuanya.
Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan :
1.    Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
a.    Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.
b.    Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.
c.    Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
d.    Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.

2.    Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata.
Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).

Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
a.    Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b.    Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
c.    Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
d.    Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.

C.    Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Warisan untuk Anak Luar Kawin
Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah dengan membuat:

a.    Akta Pembatalan, merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah pernah dibuat sebelumnya dan untuk kemudian dibuat Akta Pembagian Waris yang baru, dalam akta ini anak luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris, dicantumkan sebagai ahli waris dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang;
b.    Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan sengketa waris dengan cara bermufakatan, dan membagi waris menurut undang-undang.
c.    Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan Akta Pembagian Waris tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, dibuat tanpa membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris.

Jumat, 29 Juni 2012

ITSBAT NIKAH


A. ISTILAH HUKUM  YANG DIGUNAKAN DI PENGADILAN.
Pemohon/Penggugat adalah Pihak pertama yang mengajukan permohonan atau gugatan. Jika anda yang mengajukan gugatan/permohonan maka anda disebut Penggugat/Pemohon.
Tergugat/Termohon adalah Pihak kedua yang menjadi lawan atau diikutkan dalam permohonan/gugatan yang anda ajukan.
Panjar Biaya Perkara adalah Jumlah taksiran awal biaya perkara yang harus anda bayar. Jika dalam prosesnya nanti panjar anda kurang dari biaya yang sebenarnya, maka anda akan diperintahkan untuk menambah panjar biaya perkara. Jika perkara sudah diputus dan ada sisa panjar yang anda bayar, maka anda bisa meminta pengembalian sisa panjar tersebut.
Prodeo adalah Proses berperkara secara cuma-cuma dengan biaya negara.
Sidang Keliling adalah Sidang yang dilaksanakan di luar kantor pengadilan agama, namun biasanya dilaksanakan di tempat yang jauh dari pengadilan untuk membantu masyarakat yang mengalami kendala transportasi ke kantor pengadilan.
PNBP adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak. (Uang ini akan disetorkan kenegara)
Pos Bakum adalah Pos Bantuan Hukum (Pos ini disediakan di setiap pengadilan untuk membantu masyarakat memperoleh bantuan hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan).
B. HAL-HAL YANG PERLU ANDA KETAHUI
Apakah Pernikahan Anda Sah?
• Pernikahan yang sah adalah Pernikahan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
• Pernikahan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kenapa Pernikahan Anda Harus Dicatat?
•  Sebagai bukti sah-nya Pernikahan anda.
• Untuk menjamin hak-hak anda dalam Pernikahan jika terjadi perceraian termasuk hak memperoleh warisan dan pensiun.
• Untuk melindungi hak-hak anak, misalnya dalam membuat akta kelahiran, pengurusan passport, dan hak waris.
Dimana Pernikahan Anda Harus Dicatat?
• Pastikan anda mendapatkan Buku Kutipan Akta Nikah jika pernikahan anda     memang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Catatan Sipil.
• Bagi yang beragama Islam, pencatatan pernikahan dilakukan di KUA.
• Bagi yang beragama selain Islam, pencatatan pernikahan dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
Bagaimana Jika Pernikahan Anda Belum/Tidak tercatat?
• Pernikahan yang tidak tercatat dengan dibuktikan tidak adanya buku nikah, tidak mempunyai kekuatan hukum.
• Anda harus mengajukan permohonan pengesahan/itsbat nikah agar Pernikahan anda mempunyai kekuatan hukum.
Bagaimana Jika Buku Nikah Anda Hilang?
• Anda bisa meminta Duplikat Kutipan Akta Nikah ke KUA/Kantor Catatan Sipil tempat Pernikahan dilangsungkan.
• Untuk keperluan pengurusan TASPEN, anda biasanya harus mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan.

Apa Itu Itsbat Nikah?
Itsbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum.
Siapa Yang Bisa Mengajukan Itsbat Nikah?
Yang bisa mengajukan permohonan Itsbat Nikah adalah:
· Suami
· Anak
· Isteri
· Orang tua / Wali Nikah.
Catatan :
• Bagi suami isteri yang masih hidup, maka keduanya harus menjadi pihak yang mengajukan permohonan.
• Bagi pasangan yang salah satunya meninggal dunia, pihak yang masih hidup yang mengajukan permohonan.
• Ketidak hadiran pihak Tergugat/Termohon dalam perkara itsbat nikah untuk perceraian tidak mempengaruhi penyelesaian perkara.
Dalam Hal Apa Saja Anda Mengajukan Itsbat Nikah?
• Untuk penyelesaian perceraian.
• Hilangnya Buku Nikah.
• Jika anda ragu tentang sah atau tidaknya salah satu syarat Pernikahan.
• Jika Pernikahan anda tidak tercatat dan terjadi sebelum tahun 1974.
• Pernikahan yang tidak tercatat dan terjadi setelah tahun 1974 dan tidak melanggar ketentuan Undang-undang.
Berapa Besar Panjar Biaya Perkara?
Panjar biaya perkara adalah biaya yang harus dibayar oleh pemohon kepengadilan, biaya ini merupakan uang muka biaya perkara. Pada saat sidang telah selesai, anda bisa meminta sisa biaya perkara yang telah anda bayarkan pada saat mendaftar jika memang masih ada sisa. Tanyakan kepada petugas pengadilan berapa besar biaya yang seharusnya dikeluarkan, apakah ada sisa panjar? Minta ditunjukkan peraturan biaya perkara yang ada di Pengadilan. Apabila sisa panjar biaya perkara tidak diberikan, laporkan kepada Ketua Pengadilan.
• Besaran panjar biaya perkara ditentukan oleh Ketua Pengadilan dan biasanya rincian biaya tersebut sudah ada di papan pengumuman dipengadilan. Besarnya panjar biaya perkara berbeda dari satu pengadilan ke pengadilan yang lain.
• Perbedaan besarnya panjar tersebut ditentukan jauh dekatnya tempat tinggal anda ke kantor pengadilan.
• Panjar biaya perkara terdiri dari : biaya panggilan, meterai, redaksi, dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Untuk mendapatkan kepastian besarnya panjar biaya dan rinciannya, anda bisa menghubungi kantor pengadilan atau bisa dilihat di website pengadilan.

C. LANGKAH-LANGKAH MENGAJUKAN PERMOHONAN ITSBAT NIKAH,
Langkah 1. 
(Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan Setempat).
• Mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal anda.
• Membuat surat permohonan itsbat nikah. 
Surat permohonan dapat dibuat sendiri (seperti terlampir). Apabila anda tidak bisa membuat surat permohonan, anda dapat meminta bantuan kepada Pos Bakum (Pos Bantuan Hukum) yang ada pada pengadilan setempat secara cuma-cuma.
Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan, yaitu :
1) Surat permohonan itsbat nikah digabung dengan gugat cerai dan
2) Surat permohonan itsbat nikah.
• Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah sebanyak 5 (lima) rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap lalu yang 4 (empat) rangkap formulir permohonan diserahkan kepada petugas Pengadilan, dan yang 1 (satu) rangkap fotokopi anda simpan.
• Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat.
Langkah 2. 
(Membayar Panjar Biaya Perkara).
• Membayar panjar biaya perkara. 
Apabila anda tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda dapat mengajukan permohonan untuk berperkara secara cuma-cuma (Prodeo). Rincian informasi tentang Prodeo dapat dilihat di Panduan Prodeo.
• Apabila anda mendapatkan fasilitas Prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan perkara anda di pengadilan menjadi tanggungan pengadilan kecuali biaya transportasi anda dari rumah ke pengadilan. Apabila anda merasa biaya tersebut masih tidak terjangkau, maka anda dapat mengajukan Sidang Keliling. Rincian informasi tentang Sidang Keliling dapat dilihat di Panduan Sidang Keliling.
• Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar biaya perkara.
Langkah 3.  
(Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan)
• Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada Pemohon dan Termohon secara langsung kealamat yang tertera dalam surat permohonan.
Langkah 4. 
(Menghadiri Persidangan)
• Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat.
•  Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti Surat Panggilan Persidangan, fotokopi formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para Pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan.
Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada Pemohon/Termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi Pemohon/Termohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat.
•  Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan anda harus mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta anda menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan anda diantaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahan anda.
Langkah 5.  
(Putusan/Penetapan Pengadilan)
• Jika permohonan anda dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkan putusan/ penetapan itsbat nikah.
• Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari sidang terakhir.
• Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke kantor Pengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat Kuasa.
• Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, anda bisameminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan menunjukkan bukti salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut.

D. DAFTAR PERTANYAAN UNTUK MEMASTIKAN KESIAPAN PENGAJUAN
Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini adalah untuk memastikan bahwa anda sudah melakukan semua hal yang diperlukan, agar proses sidang anda lancar.
Jika anda menjawab “sudah”, maka gunakan tanda contreng (•)

1.  Apakah anda sudah memastikan bahwa surat permohonan anda masuk ke pengadilan yang tepat?
2.  Apakah anda sudah memastikan identitas anda dan suami di dalam surat permohonan benar dan lengkap?
3.  Apakah anda sudah memastikan keterangan mengenai ijab kabul yang anda terangkan dalam surat permohonan sudah benar?
4. Apakah anda sudah memastikan bahwa keterangan anda dalam surat permohonan tentang peristiwa yang anda alami sudah urut secara waktu (tanggal perkawinan, tempat kediaman bersama, jumlah anak, lamanya hidup rukun, mulai terjadi pertengkaran, mulai pisah ranjang, pisah rumah, dan seterusnya)?
5.  Apakah anda sudah menandatangani surat permohonan yang anda daftarkan ke pengadilan?
6.  Apakah anda sudah menerima bukti pembayaran panjar biaya perkara (SKUM) saat anda mendaftarkan perkara di pengadilan?
7.   Apakah anda sudah menerima Surat Panggilan Sidang dari pengadilan?
8. Apakah anda sudah menyiapkan surat-surat yang dibutuhkan untuk persidangan?
9.  Apabila anda memiliki surat-surat yang berbahasa asing, apakah anda sudah menerjemahkan surat-surat tersebut kedalam bahasa Indonesia?
10.  Apakah anda sudah mem-fotokopi surat-surat yang dibutuhkan sebagai bukti di persidangan, menempelkan materai di setiap fotokopi surat, dan kemudian meminta pengesahan di Kantor Pos setempat?
11. Apakah anda memiliki 2 orang saksi yang benar-benar melihat dan mendengar secara langsung permasalahan anda?
12. Apakah anda sudah menghubungi saksi-saksi tersebut dan meminta kesediaan mereka untuk menjadi saksi dalam persidangan anda?

SEMOGA BERHASIL

HALANGAN HAK WARIS

HALANGAN UNTUK MENDAPATKAN HAK WARIS
Dalam Agama Islam

Al mani’ secara bahasa berarti penghalang, menurut istilah bisa dimaknai bahwa seseorang diharamkan atau terhalang untuk mendapatkan warisan menurut hukum syar’i, Namun yang dimaksud maani’ disini adalah terhalang untuk mendapatkan warisan dan terhalang pula untuk memberi warisan seperti adanya perbedaan agama.  
Menurut Ulama’ fiqh menyepakati ada 3 (tiga) hal/sebab terhalangnya untuk mendapat warisan: 
1.    Hamba sahaya
2.    Pembunuh
3.    Perbedaan agama/ murtad.
Menurut abu hanifah ada 4 (empat) sebab terhalang mendapat warisan:
1.    Budak
2.    Pembunuh
3.    Beda agama
4.    Berbeda karna memeluk 2 (dua) agama.
Ada Pendapat yang menambahkan 2 (dua) sebab terhalangnya mendapat warisan yaitu:
1.    Tidak diketahuinya sejarah kematian orang yang meninggalkan warisan.
2.    Tidak diketahuinya orang yang mendapat warisan.
 
Menurut Imam maliki menyebutkan 10 (sepuluh) sebab penghalang mendapatkan warisan yaitu:
1.    Berbeda agama (kafir)” orang islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang islam” (pendapat ini berbeda dengan pendapat imam hanafi dan imam syafi’i)
2.    Hamba sahaya
3.    Membunuh dengan sengaja
4.    Li’an
5.    Zina
6.    Ragu dengan kematian orang yang meninggalkan warisan
7.    Al khaml
8.    Ragu dengan anak yang dilahirkan
9.    Ragu dengan waktu kematian waris dan murits
10.    Ragu dengan statusnnya, apakah wanita atau laki-laki.

Menurut imam syafi’i dan imam hambali ada 3 (tiga) sebab yaitu:
1.    Hamba sahaya
2.    Pembunuhan
3.    Perselisihan agama
Akan tetapi imam syafi’i menambahkan 3 (tiga) lagi sehingga menjadi 6 (enam) yaitu:
1.    Perbedaan antara kafir murni dengan kafir dzimmi
2.    Murtad
3.    Peranan hukum.


Al raak menurut bahasa adalah hamba, sedangkan menurut istilah adalah manusia yang lemah didalam hukum.
#. Menurut imam hanafi dan imam maliki Secara mutlak seorang hamba tidak bisa mendapat warisan dari semua keluarganya yang meninggal dunia selama ia masih berstatus hamba.
#. Menurut imam syafi’i pengecualian untuk budak mab’ad masih bisa menerima warisan, karena dimata majikannya budak ini setengah merdeka dan setengah menjadi budak.
#. Menurut imam hambali budak ini mendapatkan warisan sesuai dengan kadar ukuran ia merdeka, tetapi budak mukatab menurut imam hanafi tetap tidak mendapatkan warisan.
#. Ulama’ fiqh berpendapat bahwa seorang pembunuh tidak boleh mendapatkan warisan yakni orang yang membunuh tidak mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya seperti sabda nabi muhammad SAW “ laisa liqotilin miroosun”, karena memberi warisan kepada pembunuh adalah sebuah kerusakan, sedangkan Allah tidak menanti kerusakan.
#. Menurut imam hanafi membunuh adalah haram mendapat warisan baik membunuh dengan sengaja atau tidak.
#. Menurut imam syafi’i secara mutlak pembunuh tidak boleh mendapatkan warisan.
#. Menurut imam hambali yang tercegah mendapat warisan adalah pembunuh dengan tanpa hak, yakni yang dikenakan kisash, diyat dan kafarat.
JADI #. Perbedaan agama antara pemberi warisan dan penerima warisan adalah termasuk penghalang.

Jumat, 02 Desember 2011

PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)

Pengangkatan Anak bagi Orang Islam berdasar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

Pengangkatan anak adalah merupakan suatu upaya atau tindakan hukum yang memiliki fungsi sangat efektif dalam upaya perlindungan anak. 
Bahwa Masyarakat internasional telah mengenal apa yang disebut dengan adopsi, yaitu suatu tindakan pengangkatan anak kandung orang lain untuk dialihkan menjadi anak kandung orang tua angkat, dengan hak-hak dan kewajiban sebagaimana hak-hak dan kewajiban yang dimiliki anak kandung, baik hak waris hak menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan hak-hak lain yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia,

Bahwa Tugas pokok dari Pengadilan ialah untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. oleh sebab itu pada tanggal 20 April 2006 lahir Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, yang menerangkan tentang penetapan asal-usul anak. Tepatnya pada penjelasan pasal 49 huruf a angka 20, yang menerangkan bahwa, penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. sesuai dengan Pasal 49 tersebut menerangkan bahwa Peradilan Agama menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara asal usul anak dan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.

Bahwa
setelah berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut. Maka, Pengangkatan anak adalah kewenangan absolut Peradilan Agama, sesuai dengan asas hukum Lex spesialis derogate legi generalis. Namun aplikasi  dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut belum terealisasi dan tersosialisasi dengan baik. Namun disisi lain untuk pertimbangan hukumnya bisa saja berdasarkan Pasal 39 Ayat 1 sampai 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.